ekonomi thailand

Thailand adalah salah satu negara yang perekonomiannya sering dibandingkan dengan Indonesia. Tak heran, keduanya memang masuk dalam kelompok ASEAN 6 atau enam negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara bersama Singapura, Vietnam, Malaysia dan Filipina.

Jika diukur dari Produk Domestik Bruto (PDB) nya pada 2021 yang sebesar US$1,18 triliun, Indonesia jauh unggul dibandingkan Thailand yang hanya US$505,9 miliar. Itulah sebabnya, mengapa Indonesia jadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang masuk sebagai anggota G-20.

Namun, bila dibandingkan dalam hal industri manufaktur, Thailand lebih unggul dari Indonesia. Meski industri sektor manufaktur dalam negeri terus menggeliat tapi belum bisa mengalahkan Thailand.

Hal ini tercermin dari capaian Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada April 2023 yang berada di level 52,7, masih di bawah Thailand yang berada pada level 60,4.

Baca Juga : Sektor Kegiatan Ekonomi Utama Penduduk Filipina

Bahkan, dalam krisis politik sekalipun perekonomian Thailand tetap kuat. Maklum, negeri Gajah Putih ini memang kerap disebut sebagai negara paling sering mengalami kudeta. Dengan kata lain, mereka sudah terbiasa dengan krisis politik.

Kudeta terakhir terjadi pada Mei 2014, ketika Jenderal Prayut Chan-o-cha memimpin militer menggusur Niwatthamrong Boonsongpaisan dari kekuasaannya. Sejak saat itu, Prayut menjadi penguasa hingga mengumumkan pensiun dari politik pada Juli lalu.

Aksi Politik Tak Menghambat

Meski saat itu terjadi demonstrasi besar-besaran, namun perekonomian Thailand tetap tumbuh. Pada Juli 2024 perekonomian masih tumbuh 0,8 persen dan di Januari 2015 masih tercatat sebesar 2,4 persen.

Perekonomian tersebut malah naik dari Januari 2014 yang sempat kontraksi 0,4 persen. Lalu pada, Juli 2015 perekonomian Thailand tumbuh jadi 2,9 persen.

Tapi tak bisa dipungkiri, pemerintah Thailand mencatat ada kerugian yang terjadi selama krisis politik 2014 tersebut. Kerugian diantaranya; investasi asing yang masuk karena beberapa proyek harus ditunda.

Dikutip Reuters, Sekretaris Jenderal Dewan Investasi di Bangkok Udom Wongviwatchai pada saat itu mengatakan bahwa investor menunda proyek investasinya dan memilih untuk menunggu kondisi membaik. Namun, tidak disebutkan berapa kerugian yang dialami pada saat itu.

Tak hanya itu, krisis politik yang melanda Thailand pada 2014 tersebut ikut berdampak pada mata uang bath dan indeks saham meski tidak turun terlalu tajam. Baht tercatat turun 1,06 persen secara year to date dari 32.815 per dolar Amerika Serikat menjadi 32.464 per dolar Amerika Serikat pada 22 Mei 2014.

Kemudian, berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), indeks saham Thailand yaitu Stock Exchange of Thailand naik 8,2 persen secara year to date menjadi 1.405,21 pada Kamis 22 Mei 2014.

Direktur Center of Law and Economic Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan ekonomi Thailand cukup kuat meski di tengah krisis politik karena sektor andalan masih kencang pertumbuhannya. Pertumbuhan inilah yang belum bisa ditiru oleh Indonesia.

Bertahan Pada Ekspor

Menurut Bhima, motor penggerak utama perekonomian Thailand adalah ekspor. Sedangkan, Indonesia konsumsi masyarakat yang jika ada tekanan langsung melambat tanpa bantuan dari pemerintah. “Thailand ekonominya berorientasi pada ekspor dengan porsi ekspor 58 persen PDB Thailand,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com.

Selain itu, Thailand juga fokus pada sektor pertanian sehingga daya saing nya sangat baik. Hal ini tercermin dari ancaman baru pasca pandemi yakni El Nino dan krisis pangan, Thailand tidak khawatir. Sedangkan, Indonesia ketar-ketir dan berupaya mengamankan stok terutama beras.

“Indonesia justru ketergantungan impor beras dari Thailand. Kualitas berasnya bagus dan produktivitas lahannya tinggi,” kata dia. Kekuatan lain perekonomian Thailand adalah sektor pariwisatanya. Di ketahui, Thailand memang menjadi salah satu destinasi wisata pilihan masyarakat di kawasan Asia Tenggara.

Alhasil, meski terjadi krisis politik, setelah mereda sektor pariwisatanya akan kembali menggeliat. “Thailand juga punya kekuatan di sektor pariwisata yang menjadikannya negara dengan devisa pariwisata tertinggi di Asia Tenggara atau sebesar US$57,4 miliar pada periode pra pandemi,” imbuhnya.

Sementara, untuk industri manufaktur, Thailand unggul dari Indonesia karena negara tersebut memberikan suku bunga yang lebih rendah yakni hanya 6,75 persen pada periode Mei-Juni 2023. Sedangkan Indonesia sebesar 8,9 persen di periode yang sama.

Ekonomi Thailand Lebih Baik

Segendang sepenarian dengan Bhima, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menyebut ekonomi Thailand memang cenderung lebih baik dan tahan banting dalam menghadapi gejolak politik dibanding Indonesia.

Hal itu katanya, tidak terlepas dari sistem monarki demokrasi yang masih dipertahankan negara tersebut hingga saat ini. Sistem itu katanya, membuat kerajaan bisa melakukan intervensi ketika ada masalah.

“Itu yang menjadi salah satu kunci stabilitas ekonomi politik Thailand,” katanya Kestabilan itulah katanya yang membuat kinerja ekonomi, investasi dan ekspor Thailand cenderung lebih baik dibanding Indonesia.

“Apalagi sejak perang dagang Amerika-China 2018 lalu, Thailand menjadi salah satu tujuan relokasi investasi asing yang awalnya beroperasi di China, selain negara India, Vietman, dan Banglades,” katanya.

Keunggulan lain yang dimiliki Thailand adalah skala ekonomi Negeri Gajah Putih yang lebih kecil dibanding Indonesia. Hal itu katanya, membuat pemerintah Thailand lebih mudah mengelola perekonomiannya. “Seperti membangun iklim investasi yang lebih baik dan menguatkan daya saing sektor pariwisata, manufaktiur, dan sektor pertaniannya,” katanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *