Jatuh cinta dan kepada sepupu bukanlah hal yang aneh dalam kehidupan sehari-hari. Banyak orang yang menemukan kenyamanan dan keintiman dalam kekerabatan keluarga yang dekat.
Melainkan, sebelum melangkah lebih jauh, atau menikah, penting untuk merenungkan dan memutuskan pelbagai aspek, bagus dari sudut pandang agama, sosial, maupun tata tertib yang berlaku.
Dari sudut pandang agama, terutamanya dalam Islam, menikah dengan sepupu tidaklah dilarang. Banyak ulama yang membiarkan pernikahan antar sepupu dengan pelbagai alasan, salah satunya ialah kedekatan kekerabatan keluarga yang dapat memperkuat tali silaturahmi.
Melainkan, penting untuk memutuskan bahwa keputusan ini didasarkan pada nolimit city slot niat yang bagus dan bukan cuma impian semata. Konsultasi dengan ulama atau tokoh agama setempat dapat menjadi langkah bijak untuk menerima pemahaman yang lebih mendalam.
Dari sisi sosial, menikah dengan sepupu mungkin memunculkan pelbagai tanggapan dari keluarga besar dan masyarakat sekitar. Ada yang mendorong sebab sudah memahami dan menerima konsep ini, namun ada juga yang mungkin menilai hal ini kurang wajar.
Syariat Mengizinkan Pernikahan dengan Saudara Sepupu
Mengutip muslim.or.id, Nabi Muhammad SAW memberi masukan dan mendorong untuk menikah. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
يا معشر الشباب! من استطاع منكم الباءة فليتزوج؛ فإنه أغض للبصر، وأحصن للفرج
Duhai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian yang cakap menikah, karenanya menikahlah, sebab menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga genitalia.” (HR. Bukhari no. 5065)
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
تزوجوا الودود الولود
Nikahilah wanita yang penyayang dan subur … ” (HR. Ibnu Hibban no. 4028 dan selainnya, dihasankan oleh Al-Albani rahimahullah)
Para ulama sependapat bahwa pernikahan cuma legal antara pasangan yang bebas dari halangan-halangan secara syariat. Halangan-halangan syariat ialah kekerabatan yang ditentukan oleh syariat sebagai sebab diharamkannya pernikahan antara laki-laki dan perempuan, bagus secara permanen maupun sementara. Para ulama membahas hal ini dalam bab Al-Muharramat fin Nikah.
Pengharaman ini tentu mempunyai banyak hikmah. Di antaranya ialah bahwasanya Islam memerintahkan untuk menyambung silaturahmi dan menjaga kekerabatan yang menghubungkan individu satu sama lain, serta melindunginya dari permusuhan dan konflik. Al-Kasani rahimahullah mengatakan,
إِنَّ نِكَاحَ هَؤُلَاءِ يُفْضِي إِلَى قَطْعِ الرَّحِمِ لأَِنَّ النِّكَاحَ لَا يَخْلُو مِنْ مُبَاسَطَاتٍ تَجْرِي بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ عَادَةً، وَبِسَبَبِهَا تَجْرِي الْخُشُونَةُ بَيْنَهُمَا، وَذَلِكَ يُفْضِي إِلَى قَطْعِ الرَّحِمِ، فَكَانَ النِّكَاحُ سَبَبًا لِقَطْعِ الرَّحِمِ، مُفْضِيًا إِلَيْهِ، وَقَطْعُ الرَّحِمِ حَرَامٌ، وَالْمُفْضِي إِلَى الْحَرَامِ حَرَامٌ
Pernikahan dengan orang-orang yang diharamkan dapat menyebabkan putusnya silaturahmi. Karena pernikahan tak terlepas dari interaksi antara suami istri yang biasanya terjadi, dan karenanya dapat memunculkan konflik di antara mereka, yang pada hasilnya menyebabkan putusnya silaturahmi.
Dengan demikian, pernikahan menjadi sebab putusnya silaturahmi dan mengarah kepadanya. Mempertimbangkan silaturahmi ialah haram, dan sesuatu yang mengarah kepada yang haram juga haram.
Saudara sepupu tak termasuk mahram, yang dilarang untuk dinikahi.
Siapa yang Disebut Sepupu?
Dalam bahasa kita, misan atau sepupu atau saudara sepupu (kakak maupun adik) ialah saudara senenek dan sekakek atau si kecil dari paman atau bibi.
Dalam istilah fikih, sepupu awam diceritakan dengan
بنت العم والعمة والخال والخالة
Anak perempuan dari paman dan bibi dari pihak bapak, dan paman dan bibi dari pihak ibu (jikalau kita memperhatikan dari sisi laki-laki).”
Termasuk juga si kecil perempuan paman ayah, si kecil perempuan paman kakek, dan semisalnya.
Allah Ta’ala membiarkan menikah dengan saudara sepupu, jikalau tak ada halangan dari sisi persusuan. [6]
Dalil mengenai hal ini ialah firman Allah Ta’ala,
وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَالَاتِكَ
“… dan (dengan) si kecil perempuan dari saudara laki-laki ayahmu dan si kecil perempuan dari saudara perempuan ayahmu, dan si kecil perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan si kecil perempuan dari saudara perempuan ibumu …” (QS. Al-Ahzab: 50)
Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya mengatakan,
هَذَا عَدْلٌ وَسط بَيْنِ الْإِفْرَاطِ وَالتَّفْرِيطِ؛ فَإِنَّ النَّصَارَى لَا يَتَزَوَّجُونَ الْمَرْأَةَ إِلَّا إِذَا كَانَ الرَّجُلُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا سَبْعَةُ أَجْدَادٍ فَصَاعِدًا، وَالْيَهُودُ يَتَزَوَّجُ أَحَدُهُمْ بِنْتَ أَخِيهِ وَبِنْتَ أُخْتِهِ، فَجَاءَتْ هَذِهِ الشَّرِيعَةُ الْكَامِلَةُ الطَّاهِرَةُ بِهَدْمِ إِفْرَاطِ النَّصَارَى، فَأَبَاحَ بِنْتَ الْعَمِّ وَالْعَمَّةِ، وَبِنْتَ الْخَالِ وَالْخَالَةِ، وَتَحْرِيمِ مَا فَرّطت فِيهِ الْيَهُودُ مِنْ إِبَاحَةِ بِنْتِ الْأَخِ وَالْأُخْتِ، وَهَذَا بَشِعٌ فَظِيعٌ
Ini ialah keadilan yang berada di tengah-tengah antara sikap berlebihan dan sikap meremehkan. Orang-orang Nasrani tak menikahi seorang wanita, selain jikalau ada tujuh generasi atau lebih antara laki-laki dan wanita tersebut.
Walaupun orang-orang Yahudi, salah satu dari mereka menikahi si kecil perempuan dari saudara laki-lakinya atau si kecil perempuan dari saudara perempuannya.
Maka, datanglah syariat (Islam) yang sempurna dan murni ini dengan meniadakan sikap berlebihan orang-orang Nasrani, sehingga membiarkan (menikahi) si kecil perempuan dari paman, bibi, paman dari pihak ibu, dan bibi dari pihak ibu; serta mengharamkan apa yang dianggap remeh oleh orang-orang Yahudi dalam membiarkan menikahi si kecil perempuan dari saudara laki-laki dan saudara perempuan, yang ialah perkara buruk dan keji.